Proyek Desa pun Terpantau Online
Pengalaman Bojonegoro Menjadi Pilot Project Internasional untuk Pemerintahan Terbuka
Bupati Suyoto mentransformasi pemda dari zaman ’’kegelapan’’ ke keterbukaan. Upayanya ditonjolkan oleh lembaga internasional OGP. Berikut catatan Rohman Budijanto dari JPIP.
Bupati Suyoto alias Kang Yoto siap-siap berbicara di Washington DC, 15–16 September mendatang. Dia akan diminta bercerita di forum bergengsi Open Government Partnership (OGP), yakni subnational pioneers tier meeting atau pertemuan tingkat pelopor daerah. Kang Yoto akan berbagi pengalaman dengan 14 kepala daerah lain dari empat benua yang sama-sama terpilih jadi pilot project (percontohan) OGP untuk inovasi terkemuka demi pemerintahan terbuka.
Sang bupati menjaring banyak masukan agar kemanfaatannya di forum internasional itu maksimal. ’’Tidak hanya menunggu, kami membiasakan memungut aspirasi,’’ kata bupati yang menjabat pada periode kedua itu. Pekan lalu (23/8), dia menerima tim Kantor Staf Presiden (KSP), dipimpin Deputi II Yanuar Nugroho, serta Fithya Findie, kepala Sekretariat Nasioal (Seknas) OGP/OGI (Open Government Partnership/Open Government Indonesia) Bappenas. Hadir tim USAID yang dipimpin Luthfi Ashari, team leader Democracy Right and Governance Development Objective lembaga donor AS itu.
Fithya menjelaskan, Bojonegoro dipilih sebagai pilot project setelah lembaganya melakukan pemetaan. Setelah itu, terpilih DKI Jakarta, Kota Banda Aceh, dan Bojonegoro. Sebenarnya Surabaya juga sempat dijagokan. Dari evaluasi, Bojonegoro resmi menjadi percontohan pemerintahan terbuka untuk level daerah.
Setelah Bojonegoro terpilih, Seknas OGP/ OGI mendampingi pemda untuk menyusun rencana aksi daerah (RAD). Yakni, sejumlah komitmen untuk memperkuat gerakan-gerakan keterbukaan pemerintah yang sudah ada. Ini mesti melibatkan partisipasi aktif masyarakat dan organisasi publik.
Dalam pertemuan itu, Yanuar Nugroho memberikan masukan strategis. Kang Yoto menyebut empat prinsip pembangunan Bojonegoro, yakni signifikan, relevan, logis, dan realistis. ’’Perlu ditambah inklusif,’’ kata Yanuar yang disetujui Kang Yoto.
OGP memang ingin memperkuat ujung tombak untuk kampanye pemerintahan terbuka. Tentu saja pemda, baik provinsi maupun kabupaten/kota, jadi pilihan karena berhubungan langsung dengan rakyat.
Perjalanan Bojonegoro dalam membentuk diri menjadi pemerintahan terbuka dipaparkan di depan forum diskusi yang juga menghadirkan para kepala dinas itu. Contoh termutakhir ditunjukkan. Yakni, kewajiban seluruh 430 desa/kelurahan memasang di papan pengumuman APBDes serta daftar proyek. Dan, nomor HP kepala desa harus dicantumkan di sana.
’’Kadang info yang masuk ke HP bupati sangat banyak. Padahal, cukup diselesaikan di level kepala desa,’’ kata Kang Yoto di forum yang juga dihadiri Zainuddin Amali dari DPR serta Ketua DPRD Mitro’atin itu.
Keterbukaan tersebut merupakan ’’revolusi’’ dari kondisi masa lalu. Pada masa pemerintahan sebelumnya, keluhan akan ketidaktransparanan pemerintahan sangat umum. Bupati sebelum Suyoto, yakni Santoso, harus masuk penjara karena korupsi APBD. Tragedi itu menyadarkan bahwa pemerintahan harus terbuka.
Begitu memerintah, Kang Yoto menggelar dialog Jumat di pendapa. Kepala-kepala dinas dan camat serta unsur pemerintahan harus mendengar aspirasi apapun yang muncul dalam forum tersebut. Tentu, harus siap dengan solusi. Keterbukaan ’’manual’’ itu rutin hingga sekarang.
Ikhtiar keterbukaan yang awalnya bersifat individual (misalnya, dialog, SMS, Facebook), diperkuat ke pelembagaan dengan tiga peraturan bupati. Selain itu, teknologi informasi dimaksimalkan. Sebagaimana dipaparkan Kepala Dinas Kominfo Kusnandaka Tjatur P., saluran aspirasi masyarakat yang dibuat pemkab punya link dengan saluran pengaduan di pusat seperti LAPOR! (Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat, yang dikelola KSP) dan Open Data. Jadi, kalau ada pengaduan yang belum ditangani Pemkab Bojonegoro, pusat bisa mengetahui (selengkapnya lihat grafis).
Kini Bojonegoro juga memeratakan pelayanan informasi kepada para petani yang merupakan mayoritas warga. Misalnya, lewat Simtapat (Sistem Informasi Tanam dan Panen Tepat). ’’Misalnya, ada wilayah terserang hama, kami bisa langsung tahu dan tangani,’’ kata Kepala Dinas Pertanian Akhmad Djupari yang juga diminta menjelaskan. Kang Yoto menambahkan, petani langsung difasilitasi obat anti hama gratis agar hama cepat disikat.
Inti upaya keterbukaan itu adalah menjadikan birokrasi yang selfis (ego) menjadi servis (eco). Gampangnya, dari minta dilayani menjadi melayani. Dengan begitu, terbentuklah suasana sigap dan kepuasan batin dalam merespons keluhan publik. Dan, ternyata insentif untuk kepala dinas yang dituntut kerja tangkas itu hanya Rp 500 ribu per bulan. Kang Yoto minta dibandingkan dengan DKI yang bisa Rp 60 juta.
Keterbukaan tersebut menyebar hingga ke tingkat desa. Dengan dibantu NGO Sinergantara dan Bojonegoro Institute, desa-desa mengaplikasikan pantauan online pembangunan lewat program Game My Village (GMV). Yakni, memantau proyek pembangunan berbasis peta digital desa. Misalnya, pembangunan jembatan di kawasan tertentu difoto mulai awal hingga akhir proyek. Warga, juga pemkab, bisa memantau secara online, termasuk mencari solusi bila ada kendala.
’’Musrenbang desa jadi mudah. Begitupun dalam menentukan prioritas pembangunan,’’ kata M. Syafi’i, kepala Desa Ngringinrejo, Kalitidu. Desa itu dikenal sebagai sentra belimbing. Lahan 20 hektare milik lebih dari seratus warga disulap dari area banjir menjadi hutan belimbing. Selain tahan banjir, belimbing kontinu panen karena tak kenal musim. Pemberitaan online memopulerkan wisata belimbing desa itu.
’’Keterbukaan membawa kesejahteraan,’’ kata Kang Yoto yang beristri Mahfudhoh. Keterbukaan membuat masyarakat percaya. Apalagi Bojonegoro ketiban rezeki dari migas Blok Cepu yang cadangannya mencapai 20 persen nasional. Pengelolaannya pun dilakukan dengan transparan. Uang migas tak dihabiskan, tetapi dijadikan dana abadi, yang bisa dinikmati jangka panjang. Sekitar Rp 400 miliar uang migas diinvestasikan untuk BPR dan saham Bank Jatim.
sumber : http://www.jpip.or.id/artikelview-621-proyek-desa-pun-terpantau-online.html