Peserta HKIN Menikmati Sego Buwohan Khas Bojonegoro
Made Wijaya, peserta acara peringatan Hari Keterbukan Informasi Nasional (HKIN) terlihat lahap menyantap Sego (Nasi) Buwohan di sebalah utara Pendapa Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro, Kamis (20/6/2019) siang. Sego Buwohan adalah kuliner khas Bojonegoro.
“Pedasnya merasuk. Tapi rasanya enak, lezat,” ucapnya sambil menyeka keringat di dahinya.
Made yang berusia 52 tahun mengaku baru pertama kali ini menemukan kuliner unik. Dari sejumlah daerah di Indonesia yang dikungjungi, ia belum pernah menjumpai nasi dengan alas daun jati dan pisang.
“Biasanya hanya dibungkus satu daun. Tapi ini dua daun,” ucap pria asal Bali itu.
Selain alasnya unik, lanjut Made, menu yang disajikan dalam Sego Buwohan pun berbeda dengan kuliner lain. Seperti momok tempe, tewel, mie, dan sate daging.
“Mungkin mie perlu diganti apa gitu yang lebih khas Bojonegoro. Sebab kalau mie itu sudah menasional, di daerah lain banyak,” sarannya.
Menurut dia Sego Buwohan ini sangat cocok dijadikan kuliner khas Bojonegoro. Karena dari informasi yang dia dapat di tempat ini terkenal dengan tanaman pohon Jati.
“Memang saya lagi ingin merasakan kuliner khas di sini. Kebetulan di dekat lokasi acara ada,” tutur pria bertubuh tambun itu.
Made merupakan salah satu undangan dari ratusan peserta dari Sabang sampai Merauke yang mengikuti peringatan HKIN. Kegiatan tersebut dihadiri Sekretaris Jendral (Sekjen) Kementerian Kominfo Rosarita Niken Widiastuti, Ketua Komisi Informasi Pusat Gede Narayana
Selain itu juga dihadiri oleh Kepala Dinas Kominfo Provinsi se Indonesia, Kepala Dinas Kominfo dan Komisi Informasi Kabupaten/Kota se Jawa Timur, serta kepala desa se Bojonegoro.
Bupati Promosi Wisata Bojonegoro
Kehadiran undangan dari daerah se Indonesia ini tidak disia-siakan Bupati Anna Muawanah. Bupati perempuan pertama Bojonegoro sengaja mempromosikan kuliner dan potensi wisa di wilayahnya. Di antaranya adalah Sego Buwohan.
Bupati menjelaskan, Sego Buwohan adalah makanan yang legendaris di daerah penyangga energi nasional-sebutan lain Bojonegoro. Makanan ini sebelumnya hanya bisa didapat ketika ada orang yang memiliki acara syukuran atau hajatan.
Sego Buwohan terdiri atas dua kata dalam bahasa Jawa. Sego artinya ‘nasi’ dan buwohan diambil dari kata buwoh yang dalam bahasa Jawa artinya ‘memberi atau menyumbang’.
Makanan ini sederhana. Menunya adalah nasi hangat yang di bungkus dengan daun jati dan lauk-pauknya tediri mi kuning, momoh tempe (tempe dimasak dengan bumbu khas daerah Bojonegoro), tewel (nangka muda) dan satai komo (satai dari daging sapi yang dibumbu merah) yang dipisah dan dibungkus daun jati.
“Kalau dulu makanan ini hanya bisa didapat saat hajatan, tapi sekarang setiap hari bisa dijumpai di sini. Bapak ibu harus coba, nanti pasti ketagihan,” promosi Bu Anna, panggilan akrabnya.
Selain Sego Buwohan, kata dia, Bojonegoro juga memiliki makanan khas yakni ledre. Makanan ringan ini berbahan dasar pisang raja. Berbentuk gulungan seperti seperti kue stick, astor atau semprong. Panjang ledre sekitar 20 cm. Dengan warna cokelat yang menggoda, rasanya cukup manis dengan cita rasa dan aroma pisang.
Tidak hanya itu, Bojonegoro juga memiliki Kebun Belimbing yang buahnya bisa langsung dipetik di kebun yang berada di Desa Ngringinrejo dan Mojo, Kecamatan Kalitidu.
Kedepan tanaman hortikultura ini akan dikembangkan di Bojonegoro untuk memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat.
“Tadi Bu Niken Sekjen Kemenkominfo tanya kepada saya apa di sini tidak ada kebun durian. Kebetulan itu yang akan kami kembangkan tahun ini di sini, dan juga Kelengkeng. Saya kontak teman untuk penyediaan bibitnya. Sehingga dua atau tiga tahun lagi ketika Bu Niken datang ke sini sudah bisa petik langsung,” tutur Bu Anna disambut aplaus peserta.
Sedang potensi wisata yang dimiliki Bojonegoro lain adalah Khayangan Api di Desa Sendangharjo. Keberadaan api ini memiliki keterikatan dengan sejarah Kerajaan Majapahit.
Api abadi konon adalah tempat pembuatan senjata yang dilakukan Empu Kriyo Kusumo untuk prajurit Majapahit. Di samping api abadi terdapat air “Blukuthuk” yang konon untuk proses pembuatan senjata. Air itu seperti mendidih tapi tidak panas.
Keberadaan api abadi tersebut tidak jauh dengan Desa Dander yang merupakan napak tilas Prabu Jaya Negara yang lari dari Mojokerto ke wilayah tersebut. Sejarah ini menjadi modal untuk menarik wisatawan.
Semua potensi sumber daya alam melimpah di Bojonegoro ini kedepan akan dikelola secara baik untuk menekan kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bojonegoro berbasis desa.(Dwi/NN)