Cara Bojonegoro Berkawan dengan Bencana
Menjadi daerah dengan potensi bencana yang besar baik banjir, longsor dan angin puting beliung di kala musim penghujan. Saat musim kemarau, bencana kekeringan dan kebakaran pun melanda. Tak kenal musim, bencana silih berganti menghampiri Kabupaten Bojonegoro.
Kendati demikian, bukan berarti bencana yang datang itu menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat Bojonegoro. Justru dari bencana yang pernah melanda kabupaten dengan julukan Kota Tayub ini yang menjadi titik awal pembelajaran dalam berinovasi.
Hal itu disampaikan oleh Bupati Bojonegoro Suyoto atau akrab disapa Kang Yoto dalam Seminar Success Story yang merupakan rangkaian acara Rapat Kordinasi Nasional (Rakornas) BNPB dan BPBD di Hotel Bidakara Jakarta, Kamis (25/02/2016).
Menurut Kang Yoto, pengalaman lah yang membuat Bojonegoro pada akhirnya sukses mengelola bencana. Dimana bencana kekeringan melahirkan sistem tampungan air (embung) dan manajemen air. Sementara bencana banjir memunculkan ide paving, belimbing, kolam renang dan batu bata.
“Kalau Bojonegoro dianggap sukses, itu lahir dari kesanggupan proses memahami inti masalah. Bekerja keras dan bersinergi bersama tanpa henti dan tanpa saling menyalahkan,” kata dia.
Di hadapan sejumlah perwakilan dari BNPB/BPBD se-Indonesia dan beberapa kepala daerah yang hadir, Kang Yoto pun sedikit menceritakan kembali bagaimana banjir di akhir 2007 yang memporakporandakan seluruh Bojonegoro. Wilayah kota yang dalam sejarah tak pernah tersentuh banjir pun luluh lantak tak kuasa menahan limpahan air sungai Bengawan Solo.
Bak kebakaran jenggot, pemerintah pun tak tahu harus berbuat apa saat melihat air yang mengalir deras secara perlahan merendam daerah-daerah dalam kota. “Waktu itu saya baru terpilih jadi Bupati, dilantik pun belum. Waktu itu belum ada BNPB dan BPBD. Apa yang terjadi? Kami dan masyarakat kalang kabut,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa bukan perkara gampang untuk merumuskan tata kelola bencana. Karena pemerintah dituntut harus tepat dan cerdas menentukan indikator.
Berkaca dari segelintir bencana yang pernah melanda, Pemkab Bojonegoro bersama dengan seluruh elemen masyarakat menentukan beberapa indikator penanggulanganan bencana tersebut. Pertama, mengenali daerah baik posisi dan kontur serta jenis bencana yang rawan terjadi. Kedua, mengenali potensi bencana yang dominan terjadi serta proses terjadinya bencana.
Setelah mengetahui semua latar belakang dan sejarah inilah pemerintah daerah mengambil peranan aktif melakukan sosialisasi, sekaligus belajar bersama masyarakat. Sehingga masyarakat setidaknya mengetahui apa yang harus dilakukan sesaat sebelum bencana datang. Bahkan pemerintah daerah memasukkan kurikulum renang sebagai kurikulum wajib di muatan lokal mulai jenjang SD.
Tak hanya sampai di situ, Kang Yoto pun mendorong pihaknya untuk membuat rumusan strategis bahwa bencana bukan untuk dilawan namun untuk dijadikan kawan. Sebab, melawan dirasa bukan lagi menjadi solusi masih mendapatkan kiriman air dari berbagai daerah Jawa Tengah yang melalui sungai Bengawan Solo.
Kedua, adalah dengan membangun sinergitas dan berbagi peran secara tepat yang melibatkan semua komponen baik aparat pemerintah daerah, jajaran vertikal, masyarakat, relawan, media dan Satuan Linmas. Secara khusus peran pemerintah dalam tata kelola bencana terbagi dalam beberapa fungsi yakni fungsi kendali informasi, fungsi kendali alat dan sumber daya manusia, serta fungsi fasilitator dan koordinasi.
“Kini banjir bagi warga Bojonegoro tak lagi jadi hal yang ditakuti. Bahkan beberapa tempat sampai memiliki spanduk bertuliskan ‘Selamat Datang Banjir’. Unik kan?,” kata Kang Yoto dengan nada canda.
Untuk diketahui, Pemkab Bojonegoro tak hanya memikirkan titik pengungsian untuk manusia, akan tetapi juga membuat pengungsian yang difokuskan untuk ternak. Bahkan, disediakan pula pakan dan pemeriksaan hewan untuk memantau kondisi hewan ternak yang diungsikan.***
sumber : http://www.sindoweekly.com/autonomy/daily/25-02-2016/cara-bojonegoro-berkawan-dengan-bencana